VIVAnews - Ruangan beratap terpal dengan dinding semipermanen sebatas dada orang dewasa itu penuh dengan belasan murid berseragam merah putih. Pandangan anak-anak tertuju pada dua wanita kembar yang berpenampilan seragam.
Berlokasi di pinggir rel kereta Lodan, Ancol, Jakarta Utara, saudara kembar Sri Irianingsih (Rian) dan Sri Rossiati (Rossi) menggawangi sekolah darurat 'Kartini'. Sekolah itu diperuntukkan bagi anak-anak putus sekolah yang hidup di kolong tol.
Bersama sekolah itu, belasan tahun si kembar kelahiran 4 Februari 1950 mencurahkan tenaga dan materi. "Tahun 1990, saya pernah mendirikan sekolah darurat di kawasan Kali Sunter, rel Kereta Senen dan Pasar Rebo, semua sudah kena gusur," kata Rossi dengan nada kesal.
Ide pembangunan sekolah darurat muncul saat Rossi melintasi kolong tol Pluit, Jakarta Utara tahun 1990. Sarjana pendidikan inipun terketuk hatinya saat melihat kehidupan anak-anak dan remaja di situ. "Tanpa pendidikan, mereka tidak akan hidup layak," ujarnya.
Di sekolah darurat, anak-anak didik tidak hanya dibekali pelajaran sesuai kurikulum pendidikan. Rossi dan Rian juga mengajarkan ketrampilan dan memberlakukan piket kebersihan untuk meningkatkan disiplin. Setiap tahun, sekolah ini meluluskan sekitar 100 murid dari berbagai jenjang.
Perjuangan kembar asal Semarang ini memang berat dan melelahkan. Hingga lengser dari jabatan gubernur, Sutiyoso pun tidak pernah mewujudkan janji untuk menyediakan lahan pendidikan bagi anak-anak miskin di kolong tol.
Motto "harus berbagi" yang ditanamkan sang ayah sejak kecil, rupanya begitu dihayati Rossi dan Rian. Selain membiayai seluruh kebutuhan sekolah darurat miliknya, Rossi dan Rian terjun mengajar. "Saya investasikan uang saya Rp4 miliar untuk sekolah ini. Sekolah ini gratis,” ujar Rian.
Setiap bulan, Ibu Kembar menyisihkan Rp 25 juta dari kantong pribadi. Uang itu digunakan untuk membiayai gaji guru, perlengkapan pendidikan, hingga konsumsi 550 muridnya.
Di sekolah 'Kartini', Rossi dan Rian memiliki 10 guru profesional yang siap mengajar anak didiknya dari TK sampai SMA. Empat guru bergelar sarjana pendidikan dan enam guru berasal dari TNI.
Berjiwa sosial tinggi adalah syarat utama yang diberlakukan Rossi dan Rian terhadap seluruh pengajar. Keduanya tidak ingin semangat “harus berbagi” yang diwariskan ayahnya dicemari orang yang tidak bertanggung jawab. "Kalau ada guru kita yang ketahuan cari uang, langsung kita keluarkan," ujar Rian.
Semangat pantang menyerah Ibu Kembar yang ditebar di kolong tol pun membuahkan hasil positif. Banyak anak didiknya yang kini sukses menapaki dunia profesional. Ada yang menjadi TNI, polisi, karyawan swasta, bahkan pengusaha.
Tapi, itu bukan akhir dari mimpi Rossi dan Rian. Memiliki bangunan sekolah permanen untuk warga miskin adalah mimpi yang belum terwujud. "Mereka ini anak bangsa, berhak mendapatkan pendidikan. Jangan dibiarkan saja. Kita ingin pemerintah membuat wadah untuk orang kere supaya bisa sekolah. Buat wadah untuk mereka di komunitas mereka. Kalau bisa bikin asrama," ujar keduanya.
Vivanews
http://life.viva.co.id/news/read/11767-di_kolong_tol_si_kembar_mengabdi
Berlokasi di pinggir rel kereta Lodan, Ancol, Jakarta Utara, saudara kembar Sri Irianingsih (Rian) dan Sri Rossiati (Rossi) menggawangi sekolah darurat 'Kartini'. Sekolah itu diperuntukkan bagi anak-anak putus sekolah yang hidup di kolong tol.
Bersama sekolah itu, belasan tahun si kembar kelahiran 4 Februari 1950 mencurahkan tenaga dan materi. "Tahun 1990, saya pernah mendirikan sekolah darurat di kawasan Kali Sunter, rel Kereta Senen dan Pasar Rebo, semua sudah kena gusur," kata Rossi dengan nada kesal.
Ide pembangunan sekolah darurat muncul saat Rossi melintasi kolong tol Pluit, Jakarta Utara tahun 1990. Sarjana pendidikan inipun terketuk hatinya saat melihat kehidupan anak-anak dan remaja di situ. "Tanpa pendidikan, mereka tidak akan hidup layak," ujarnya.
Di sekolah darurat, anak-anak didik tidak hanya dibekali pelajaran sesuai kurikulum pendidikan. Rossi dan Rian juga mengajarkan ketrampilan dan memberlakukan piket kebersihan untuk meningkatkan disiplin. Setiap tahun, sekolah ini meluluskan sekitar 100 murid dari berbagai jenjang.
Perjuangan kembar asal Semarang ini memang berat dan melelahkan. Hingga lengser dari jabatan gubernur, Sutiyoso pun tidak pernah mewujudkan janji untuk menyediakan lahan pendidikan bagi anak-anak miskin di kolong tol.
Motto "harus berbagi" yang ditanamkan sang ayah sejak kecil, rupanya begitu dihayati Rossi dan Rian. Selain membiayai seluruh kebutuhan sekolah darurat miliknya, Rossi dan Rian terjun mengajar. "Saya investasikan uang saya Rp4 miliar untuk sekolah ini. Sekolah ini gratis,” ujar Rian.
Setiap bulan, Ibu Kembar menyisihkan Rp 25 juta dari kantong pribadi. Uang itu digunakan untuk membiayai gaji guru, perlengkapan pendidikan, hingga konsumsi 550 muridnya.
Di sekolah 'Kartini', Rossi dan Rian memiliki 10 guru profesional yang siap mengajar anak didiknya dari TK sampai SMA. Empat guru bergelar sarjana pendidikan dan enam guru berasal dari TNI.
Berjiwa sosial tinggi adalah syarat utama yang diberlakukan Rossi dan Rian terhadap seluruh pengajar. Keduanya tidak ingin semangat “harus berbagi” yang diwariskan ayahnya dicemari orang yang tidak bertanggung jawab. "Kalau ada guru kita yang ketahuan cari uang, langsung kita keluarkan," ujar Rian.
Semangat pantang menyerah Ibu Kembar yang ditebar di kolong tol pun membuahkan hasil positif. Banyak anak didiknya yang kini sukses menapaki dunia profesional. Ada yang menjadi TNI, polisi, karyawan swasta, bahkan pengusaha.
Tapi, itu bukan akhir dari mimpi Rossi dan Rian. Memiliki bangunan sekolah permanen untuk warga miskin adalah mimpi yang belum terwujud. "Mereka ini anak bangsa, berhak mendapatkan pendidikan. Jangan dibiarkan saja. Kita ingin pemerintah membuat wadah untuk orang kere supaya bisa sekolah. Buat wadah untuk mereka di komunitas mereka. Kalau bisa bikin asrama," ujar keduanya.
Vivanews
http://life.viva.co.id/news/read/11767-di_kolong_tol_si_kembar_mengabdi