09.38
Unknown
Rian-Rossy pun awalnya merogoh kocek sendiri untuk membiayai kegiatan belajar mengajar yang berlangsung. Mulai dari memberikan makan, baju seragam siswa, peralatan sekolah, hingga membekali dengan teknik keterampilan.
Namanya sekolah darurat, tempat belajarnya pun tak permanen. Siswa yang sekolah ini adalah anak-anak dari kelompok marjinal yang tidak diterima mengenyam pendidikan di sekolah reguler. Setelah beberapa kali pindah "sana-sini", kini Sekolah Kartini kembali terancam mengalami penggusuran. Saat ini, Sekolah Kartini berlokasi di kawasan Lodan Raya, menggunakan lahan milik PT Kereta Api Indonesia. Batas waktu yang diberikan hingga 10 September mendatang. Setelahnya, kemungkinan akan kembali ke kolong jembatan tol Lodan Mas.
Sebelum di Lodan Mas, sekolah ini sempat digelar di kawasan Kebun Sayur, Kebon Walang, dan daerah pinggir rel.
Bangunan yang kini "dihuni" Sekolah Kartini adalah bekas gudang. Tanpa sekat, di ruangan ini berlangsung proses belajar mengajar para siswa dari PAUD, TK, SD, hingga SMP.
"Kami kasihan melihat anak-anak jalanan yang enggak bisa sekolah. Untuk membangun negeri ini cuma memiliki satu cara, perbaiki pendidikan. Dan anak jalanan ini juga berhak memiliki pendidikan," ujar Rossy, di Jakarta, Kamis (19/7/2012).
Rian dan Rossy membiayai kebutuhan anak didik dari usahanya sendiri. Terkadang, sumbangan datang dari masyarakat yang peduli terhadap sekolah darurat yang sifatnya tidak kontinu.
"Untuk membiayai kehidupan mereka, kami punya sawah loh di daerah Puncak. Dari hasil panen itulah kami bisa memberi makan anak-anak ini," ungkap Rian.
Metode belajar Sekolah Darurat Kartini
Sekolah kartini memiliki metode tersendiri dalam mendidik kelompok marginal di wilayah Ancol tersebut. Dengan keterbatasan ruangan, maka kedua saudara ini menyiasati dengan metode pelajaran darurat. Untuk tingkat PAUD dan TK ditangani oleh dua orang guru bantu, SD kelas 1 diajarkan membaca, kelas 2 berhitung penjumlahan, dan kelas 3 perkalian. Adapun, untuk kelas 4-6 belajarnya disatukan mata pelajarannya.
"Ya kita satukan saja. Kan pelajarannya itu-itu aja, cuma di setiap kelas lebih mendalam pembahasannya," jelas Rossy.
Untuk tingkat SMP dan SMA, mereka juga menerapkan pola yang sama dengan siswa SD kelas 4-6. "Masa iya belajar tiga tahun enggak lulus ujian, kalau belajar sih pasti lulus," ujar Rossy.
Pola pengajarannya, lanjut Rossy, juga tak bisa disamakan dengan mendidik siswa pada sekolah reguler. Anak-anak jalanan yang bersekolah di sini membutuhkan perlakuan khusus untuk mengubah prilakunya dengan ketegasan dan kasih sayang. Pembentukan karakter menjadi pilar utama dalam mendidik mereka.
Bekal terjun ke masyarakat
Di Sekolah Kartini, para siswa tak hanya dibekali pelajaran secara formal. Rian dan Rossy juga membekali anak didiknya dengan tata cara bergaul. Menurut mereka, hal ini penting. Tak tanggung-tanggung, anak didik dibekali dengan table manner seperti cara memegang gelas, piring, melipat baju, berbicara, duduk, dan berinteraksi dalam bentuk apa pun di tengah masyarakat.
Selain itu, ibu kembar juga menguji kejujuran dari siswa didik dengan tinggal bersama mereka sebelum siap bekerja. Para lulusan Sekolah Kartini tercatat ada yang berkecimpung di bidang pelayaran, kepolisian, mau pun bidang pekerjaan lainnya.
"Siswa Sekolah Darurat Kartini yang sampai ke perguruan tinggi sekitar 25 persen, 70 persen bekerja, dan 5 persen kembali ke terminal," tambah Rossy.
Kompas.com
0 komentar:
Posting Komentar