[Investor Daily Indonesia (03/11/04)] ~ Semua sekolah petak tripleks itu dibangun dalam lingkungan komunitasnya, tidak terpisah dari perkampungan utama. “Bu Guru datang…, Bu Guru datang,” teriak anak anak kolong jembatan murid Sekolah Darurat Kartini, Rawa Bebek, Jakarta Utara, saat melihat mobil Nissan B2852JE warna merah marun datang, Sabtu (30/10/2004). Kendaraan itu diparkir di depan sekolah yang sekelilingnya penuh gundukan limbah kertas.
Dari mobil turun dua orang yang sama sama mengenakan busana putih dipadu kerudung warna senada. “Ibu kembar sudah datang, ayo masuk,” kata salah satu orangtua murid sambil menggiring anaknya masuk ruangan yang di depannya tertulis Sekolah Darurat Kartini.
Bangunan sekolahan itu menggunakan tripleks dari kayu. Ruangan seluas 40 meter persegi itu terlihat sesak dengan sekitar 80 anak yang belajar di tiap lantai. Untuk masuk ke atas, orang dewasa harus mernbungkukkan badan karena atapnya terlalu rendah.
Sekolah petak di tengah perkampungan kumuh di bawah jembatan layang itu adalah cita cita dari kembar bersaudara, Sri Rosiati (Rosi) dan Sri Irianingsih (Rian). Mereka yang akrab dipanggil ibu kembar itu termasuk orang kaya yang masa kecilnya dikungkung dan dimanjakan orang tua. Namun, justru keadaan itulah menyebabkan ibu kembar merasa terusik dan peduli pada kehidupan yang berbeda dari mereka.
Sekolah yang didirikan ibu kembar dinamai Sekolah Darurat Kartini. lbu kembar tidak pernah menamakannya sebagai yayasan ataupun sebagai lembaga swadaya masyarakat (LSM). Di Jakarta, “Kartini” sekarang sudah mempunyai lima “cabang”, yaitu di bawah kolong jembatan Rawa Bebek, bawah jembatan Ancol, bawah jembatan Pluit, bawah jembatan Tambora, dan di pinggir rel kereta api Kampung Janis.
Semua sekolah petak tripleks itu dibangun dalam lingkungan komunitasnya, tidak terpisah dari perkampungan utama. Jumlah murid Sekolah Darurat Kartini kini mencapai 1925 murid, dari taman kanak kanak, hingga SMU. Sebentar lagi juga akan dibangun poliklinik gratis untuk masyarakat.
Tidak Sengaja
Kegiatan filantropis Rosi dan Rian di bidang pendidikan kaurn dhuafa, sebenarnya tidak sengaja. Ceritanya, sekitar delapan tahun lalu, Rosi dan Rian berdialog dengan Jamin, salah seorang warga di kawasan Pluit, Jakarta Utara. Saat itu, Jamin bertugas sebagai keamanan di wilayah tersebut. Rosi dan Rian menitipkan kendaraannya yang saat itu mogok.
“Waktu itu kita ingin memberi imbalan kepada Pak Jamin, tapi ia menolak. la menyarankan agar kami memberikan bantuan kepada warga saja,” kata Rosi kepada Investor Daily saat menghadiri acara amal Sampoerna Foundation akhir pekan lalu di Sekol lah Darurat Kartini, Rawa Bebek, akhir pekan lalu.
Setelah melihat kondisi wi¬layah di bawah jembatan la¬yang, Rosi dan Rian melihat bahwa warga di sana amat miskin. Kecuali itu, anak anak dari keluarga itu juga banyak yang tidak bersekolah. Karena itu, pasangan kembar kelahi¬ran Februari 1950 itu sengaja membangun sarana pendidik¬an bagi warga perkampungan kumuh di wilayah Jakarta Utara.
Selain didasari rasa ke¬manusiaan sebagai seseorang yang beruntung hidup di atas garis kemiskinan, inisiatif Rosi dan Rian mendirikan sekolah darurat juga atas dasar per¬hatiannya terhadap masalah pendidikan di Tanah Air.
“Kita melihat banyak anak di sini tidak punya kesempatan sekolah. Bayangkan, anak usia 10 tahun ada yang sudah menjadi pelacur. Nah, kita sebagai seorang yang berada, kenapa nggak mencoba untuk memberikan kesempatan,” ujar Rosi.
Rupanya, kehadiran sekolah darurat itu mendapat respons positif masyarakat sekitar. Lima Sekolah Darurat Kartini yang didirikan Ibu Kembar ini, mampu menampung banyak anak miskin. Di Rawa Bebek saja, misalnya, tak kurang dari 350 siswa bersekolah.
Dian, seorang siswa Sekolah Darurat Kartini Rawa Bebek yang bermukim di bilangan Jembatan Tiga, berterima kasih atas kebaikan ibu kembar. Maklum, selama bersekolah di Sekolah Darurat Kartini, Dian mendapat fasilitas alat tulis, buku buku dan seragam sekolah. Gratis lagi!
“Aku sekarang sudah kelas satu SMP. Setiap hari aku selalu masuk sekolah, nggak pernah bolos. Aku senang sekolah di sini, karena ada ibu guru kembar. Kalau ibu guru kembar nggak ada, pasti kita cari cari,” ujar Dian.
Aksi sosial Rosi dan Rian pantas diacungi jempol. Maklum, ibu kembar kerap menyambangi lima sekolah darurat miliknya. Bahkan, mereka pun turut mengajar. Hebatnya lagi, untuk mem¬biayai kegiatan sekolah darurat itu, ibu kembar merogoh kocek pribadinya. Setelah sekolah tersebut berstatus disamakan pada 2000, Rosi dan Rian juga memberikan penghargaan. Lima belas pengajar di sekolah darurat itu mendapat tunjangan sebesar Rp 600.000 Rp 850 ribu.
Demi melengkapi kepedulian sosialnya dalam pemberdayaan manusia, duo kembar ini menerapkan peraturan khusus bagi para pengajar di lima sekolah darurat yang dibangunnya. Apa saja peraturannya?
Demi melengkapi kepedulian sosialnya dalam pemberdayaan manusia, duo kembar ini menerapkan peraturan khusus bagi para pengajar di lima sekolah darurat yang dibangunnya. Apa saja peraturannya?
“Sederhana. Guru di sekolah darurat harus lulusan S1. Guru di sini tidak boleh menggalang dana di luar sekolah, tidak boleh meminta uang dari murid. Selain itu, guru juga tidak boleh memberikan uang kepada murid,” ujar Rian.